Belajar Penanganan Sampah Partisipatif dari Jam’iyyah Ngukudi Sampah Tegalgubug

Belajar Penanganan Sampah Partisipatif dari Jam’iyyah Ngukudi Sampah Tegalgubug

SAMPAH masih menjadi masalah serius di Kabupaten Cirebon. Tumpukan sampah masih terlihat di mana-mana. Masih terpikir mengandalkan pemerintah?

Feature by Mahbullah – Cirebonplus.com

Status darurat sampah pernah disematkan kepada Kabupaten Cirebon. Banyak elemen yang mengakui. Mulai dari warga biasa hingga anggota DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) Cirebon. Semua menyampaikan keprihatinan.

Tema sampah juga sempat menjadi bahan pembicaraan yang cukup panjang di tengah-tengah masyarakat. Dalam obrolan warung kopi hingga headline media massa.

Mayoritas menyalahkan pemerintah dan membebankan solusi kepadanya. Tapi tak sedikit pihak, terutama elemen masyarakat yang mulai ikut terlibat secara partisipatif untuk mengurai masalah sampah, minimal di lingkungan terdekatnya.

Tak sedikit kepala desa yang memprogramkan pembangunan instalasi pembakaran sampah dengan kapasitas kecil. Sekadar solusi atas persoalan sampah di desa tersebut. Namun sayang, hanya sedikit sekali desa yang memiliki program itu.

Kesadaran juga muncul dari aktivis lingkungan, termasuk kelompok masyarakat. Meskipun ekskalasinya kecil, namun peran-peran partisipatif dianggap solutif bila dilakukan oleh banyak kelompok, terlebih apabila solusi masalah sampah tidak menjadi agenda utama pemerinta daerah.

Jam’iyyah Ngukudi Sampah (JNS) Desa Tegalgubug Lor, Kecamatan Arjawinangun bisa jadi contoh penanganan sampah partisipatif dari masyarakat. Kelompok ini sudah berjalan beberapa bulan, dengan aktivitas utama penanganan masalah sampah di desa setempat.

Saat ini, anggotanya sudah mencapai puluhan dan mayoritas anak muda. Mereka tersebar dan disebar ke sejumlah blok untuk mengangkut sampah-sampah yang ada. Meski dilakukan setiap minggu, namun apa yang dilakukan sangat bermanfaat bagi lingkungannya.

Dari waktu ke waktu aktivitasnya terus mengalami perkembangan yang menggembirakan. Mulai dari pengadaan tempat-tempat sampah untuk masing-masing blok, memfasilitasi produksi kerajinan dari sampah daur ulang, dan yang terbaru adalah pengadaan alat pembakar sampah mini.

Ketua Program Aksi Tegalgubug Bersih (ATB), Rijal menyebutnya alat pelebur sampah. Minggu (10/12), alat tersebut dipamerkan penggunaanya kepada masyarakat.

Menurut Rijal, alat itu didesain khusus sebagai solusi untuk mengurangi sampah. “Kami sengaja memamerkan alat ini agar pemerintah tergugah untuk mengatasi persoalan sampah,” kata pria yang suka bercanda itu kepada cirebonplus.com.

Selama ini, lanjut dia, sampah yang dipungut setiap hari Minggu keliling dari satu gang ke gang lainnya, ditimbun di tempat pembuangan sampah yang bersifat sementara. Tempatnya, persis di tepi sungai sesuai petunjuk pemerintah desa.

Demo peleburan sampah sangat direspons positif masyarakat setempat. Tapi ia menyayangkan, sebab pengadaan alat baru bersifat pinjaman dari relawan.

“Walaupun baru bisa minjem dari sukarelawan Bung Leo Adrian Dwi Laksono sebagai mitra kami yang sama-sama peduli sampah, tapi banyak manfaatnya. Harapan kami minimal per RT memiliki alat ini agar masyarakat tidak susah lagi membuang sampah,” papar Rijal.

Sang empunya alat, Leo Adrian Dwi Laksono mengaku bangga atas partisipasi kelompok masyarakat Tegalgubug Lor yang peduli terhadap masalah sampah. Karena itu, pihaknya siap untuk bekerjasama dengan pihak manapun dalam menjembatani dan memfasilitasi alat tersebut.

Selagi untuk kepentingan masyarakat, ia siap bersama-sama masyarakat bahu membahu. Apalagi bagi Desa Tegalgubug, pengadaan alat tersebut sangat urgen bila melihat banyaknya industri rumahan yang memproduksi banyak sampah.

Untuk cara kerja mesin, sambungnya, sangat sederhana. Alat itu kurang dari satu hari bisa meleburkan sampah seberat 1 ton.

Hasil pembakaran, yang tersisa hanyalah abu. “Itupun bisa dimanfaatkan lebih produktif untuk pupuk organik dan pembuatan batako,” kata dia.

Namun, bila ingin pembakaran sampah dalam kapasitas besar, belum bisa, karena butuh alat yang lebih besar lagi. Tetapi, asapnya bisa sebagai pembangkit listrik.

“Jadi, dengan alat seperti itu selain memecahkan persoalan sampah, juga menghasilkan profit. Bila dikelola dengan baik nilai bisnisnya ada,” tandas dia.

Dikatakan, alat seperti itu masih terbatas karena belum dipasarkan secara masif. Ia membelinya dari teman lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) seharga Rp12 juta.

Ia berharap banyak desa atau kelompok yang memiliki alat tersebut. Diyakini, bila dimiliki secara masif, sangat membantu penanganan sampah di masyarakat yang selama ini belum ditangani maksimal. (*)

Related posts