Maksimalkan Penegakan Hukum, Maksimalkan Hukum!

Maksimalkan Penegakan Hukum, Maksimalkan Hukum!

Catatan: BAKHRUL AMAL

HUKUM, sudah diketahui bersama, berada dalam dua himpitan besar, antara politik dan ekonomi. Politik masa kini berbicara mengenai siapa yang menang. Ekonomi di bawah roda kapitalistik dan pragmatisme global mencari apa untung dari setiap tindakan. Dalam kubangan “siapa yang menang?”dan “apa untungnya?”, hukum dilahirkan untuk menengahi dengan pertanyaan yang condong kepada keadilan, yaitu pertanyaan perihal “siapa yang benar?”

Namanya hukum, kata Roberto M Unger, selalu dipengaruhi oleh kepentingan politik maupun ekonomi. Hal itu mengindikasikan bahwa bagaimanapun hebatnya hukum, ia selalu tidak bisa lebih kuat daripada ideologi atau kepentingan penguasa. Hukum yang lari dari kenyataan kemudian menjadi kaku dan terkesan bisa dengan mudah ditarik dan diulur. Akhirnya, hukum, di tangan para penguasa, tidak lagi menjadi sosok yang angker nan ditakuti karena adil, tetapi hukum justru menjadi penentu jawaban bagi “siapa yang menang?” dan “apa untung yang diperoleh?”, bagi pihak yang menggunakannya.

Apa yang diceritakan di atas adalah hasil kalkulasi dari sebuah kenyataan yang akhir-akhir ini seringkali muncul dalam kehidupan sosial kita. Yang diceritakan di atas pun setidaknya menjadi mata air jawaban dari air mata kriminalisasi yang sering dipertontonkan kepada kita secara terbelalak.

Teka-teki yang disajikan pada paragraf sebelumnya mestilah kita jawab. Problem tersebut teramat serius, mengingat, para bijak bestari maupun cendekiawan mengungkapkan bahwa robohnya tiang-tiang keadilan dalam hukum sama dengan robohnya bangunan negara. Akan tetapi, sebelum menjawab, kita terlebih dahulu memerlukan setidaknya dua pertanyaan yang terdiri dari; apakah sistem hukumnya yang keliru? Ataukah peran penegak hukumnya yang mudah dipengaruhi?

SISTEM HUKUM
Sistem hukum selalu dibuat mengikuti dasar daripada suatu negara. Dalam hal Indonesia, sistem hukum kita mengacu pada rechtstaat ke-Belanda-Belanda-an. Rechstaat secara harfiah tidak hanya berarti undang-undang, tetapi juga undang-undang yang mengacu pada satu norma besar. Indonesia menyepakati norma besar yang dimaksud adalah Pancasila.

Secara garis besar, hukum di Indonesia harus memiliki lima napas. Pertama, hukum di Indonesia haruslah mengedepankan kepercayaan kepada Tuhan Yang Masa Esa. Ini mungkin telah tercermin dalam setiap putusan jaksa dengan kata-kata “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Selanjutnya, hukum di Indonesia harus mengayomi dan beradab karena dibuat dan digunakan untuk kepentingan kemanusiaan. Ketiga, hukum Indonesia harus bisa memutuskan hal yang mempersatukan, bukan justru mencerai berai. Keempat, hukum Indonesia harus berdasarkan musyawarah. Asas keempat (musyawarah) ini digunakan sebagai jalan bagi asas yang kelima, yakni untuk memeroleh keputusan yang adil bagi semuanya tanpa ada satu yang lainnya dirugikan.

Kelima hal yang disebut oleh Thomas L Friedman sebagai Grundnorm itu tentunya perlu dijunjung tinggi tanpa terkecuali. Apabila nyatanya di dalam perjalanan ada hukum yang tidak berdasarkan keadilan yang dituntut oleh Pancasila, maka bukan hukum yang harus didahulukan, tetapi nilai-nilai keadilan lah yang perlu diutamakan.

PERAN PENEGAK HUKUM
Sebuah sistem bergantung pada para pengguna sistem itu dalam memakainya. Sistem yang baik akan menunjukkan hasil yang baik, apabila dipergunakan oleh subjek yang baik. Namun, sebuah sistem yang sekalipun baik akan menjadi jelek andaikata dipegang kendalinya oleh subjek yang tidak baik. Begitulah singkatnya.

Identifikasi subjek kali ini diperlukan untuk mendapatkan jawaban yang tepat. Subjek selalu ditentukan oleh dimana dia lahir, di mana dia bersosialisasi atas kehidupannya, dan dengan siapa dia biasa bergaul. Semuanya itu menghasilkan satu hal yang disebut kepentingan.

Subjek yang lahir dari keluarga baik, lingkungan sosial yang baik, serta bergaul dengan orang yang baik, tentunya apabila dirawat akan menjadi penegak hukum yang baik. Sedangkan subjek yang lahir dari keluarga baik, namun lingkungan sosialnya mencemari dengan hal buruk, lalu dipengaruhi kepentingan yang tidak relevan dengan hukum, maka bagaimanapun sistem itu baiknya akan selalu diperoleh hasil keputusan yang buruk.

CERITA A, B, dan C
Sebagai contoh; A sebagai seorang jaksa. Dia tentu harus menegakkan hukum meskipun langit akan runtuh, kata Cicero. Namun A mengetahui bahwa dalam sebuah institusi terdapat persaingan antara B dan C, di mana di situ dia bisa mencari keuntungan. A kemudian didekati B untuk mencari celah hukum agar dapat mengkriminalisasi C.

Pada saat itu, A kehilangan unsur objektifitasnya sebagai jaksa, berubah menjadi penjegal, untuk lalu bekerja dan berusaha sekuat tenaga membuat C jelek. Tujuannya tentu, agar B bisa leluasa mengalahkan C. Dengan label penegak hukumnya, A kemudian membuat C dihukum secepatnya demi memenuhi hasrat B.

Dari cerita mengenai A, B, serta C, kita tahu bahwa baik dan buruknya hukum bukanlah semata-mata tergantung pada kualitas produk hukum. Perlu dicermati juga, baik dan buruknya hukum dipengaruhi pula oleh kualitas penegak hukumnya. Semakin cerdas, semakin objektif, dan semakin kompetennya penegak hukum, maka akan semakin kuatlah pula hukum di suatu negara itu. Penegak hukumlah yang menjadi legal executor daripada kepentingan politik “siapa yang menang?” dan juga nafsu ekonomi “apa untungnya?”, dengan semangat “siapa yang benar?”. (*)

Penulis Adalah Intelektual Muda Cirebon yang juga Dosen UNU Jakarta

Related posts