Catatan: Kalil Sadewo
BULAN ini, Mei 2018 merupakan ulang tahun Reformasi yang ke-20. Selama dua puluh tahun bangsa ini telah “bermigrasi” dari demokrasi pura-pura ke zona demokrasi terbuka. Karena terbuka, angin kencang, bahkan badai, sering menerpa. Meski hingga saat ini Indonesia masih baik-baik saja.
Beruntung kita sudah masuk ke era Reformasi. Paling tidak, bangsa kita lebih “maju” beberapa langkah ketimbang negara-negara yang hingga hari ini masyarakatnya masih dihantui ketakutan atas represivitas kekuasaan (negara). Menangkapi para pengunjuk rasa, pengkritik keras, atau mereka yang berbeda jalan politik. Di Indonesia, setiap orang bebas menyampaikan pendapat dan kritiknya selama tidak mengumbar fitnah yang mencemarkan nama baik.
Bangsa kita masih lebih beruntung dari negara-negara yang dilanda perang tak berkesudahan akibat perbedaan di antara mereka. Setiap gejolak yang muncul di masyarakat Indonesia, akibat perbedaan yang ada, dengan cepat bisa diredam oleh negara dan sebagian besar elemen bangsa. Bahkan, mayoritas ulamanya memiliki ajaran nasionalisme religius yang bertumpu pada komitmen kebangsaan guna menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan pihak manapun, yang tidak dimiliki negara-negara jazirah Arab sekalipun.
Bahkan, Indonesia juga jauh lebih baik ketimbang negara-negara “kelas pertama” yang rakyatnya memberikan kekuasaan kepada pemimpin-pemimpin rasis, menggunakan sentimen agama dan kelompok imigran sebagai alat jualan kampanye. Hedonis, yang masyarakatnya memaklumi pemimpin-pemimpinnya memamerkan gaya hidup bergelimang harta dan membiarkan meski melakukan penyimpangan seksual.
Kondisi hari ini patut disyukuri. Tetapi, bukan berarti ikhtiar untuk menciptakan kondisi yang jauh lebih baik dari hari ini berhenti. Bijak bestari mengatakan, menjaga kesuksesan lebih sulit ketimbang mencapai kesuksesan itu sendiri. Juga mengatakan, kesuksesan hakiki adalah tercapainya kondisi lebih baik ketimbang hari ini.
Tren tantangan Reformasi Indonesia saat ini cenderung berasal dari pengaruh dunia luar atau bahasa lainnya misi transnasional. Selain tarik menarik kepentingan para negara adikuasa yang menguasai ekonomi dunia, bibit-bibit intoleransi yang berasal dari impor virus salah kaprah pemahaman agama juga memainkan perannya. Penyakit-penyakit seperti terorisme, radikalisme, pemaksaan kehendak, politik fitnah-adu domba, ambisi kekuasaan, dan ihwal negatif lainnya, telah menjajah demokrasi.
Mereka yang mengklaim pembawa misi penerus Rasul pun ikut berjibaku mempromosikan “perebutan” kekuasaan politik. Mirisnya, acap kali menunjukkan cara-cara yang menerobos etika/kelaziman dan melakukan pembenaran atasnya lewat penafsiran-penafsiran serampaangan dalil-dalil naqli. Salahsatu efeknya, naiknya trafik kebencian satu sama lain, baik antaragama maupun seagama.
Melalui pemahaman tekstualnya, negara dianggap thogut, presidennya kafir, polisinya layak dibunuh, hingga ulama di luar golongannya dicap sesat. Paling ekstrem, munculnya tafsir dikotomis antara partai (politik) setan dan partai Tuhan yang terlontar oleh orang besar sekaliber tokoh Reformasi. Ironisnya, yang mereka sebut partai Tuhan itu banyak kadernya yang dibui karena korupsi.
Hampir setiap hari, tak peduli bulan Ramadan, opini-opini pembenaran atas pemahaman politik ambisius yang dibungkus agama diproduksi. Digoreng dengan racikan bumbu kebencian terhadap pemimpin selain golongannya dan umat di luar barisannya. Produknya mereka sebar ke berbagai lini masa, menyasar siapa saja yang terhubung internet baik lewat website-website maupun media sosial (medsos). Tak sedikit yang memamah informasi tersebut mentah-mentah, ada yang kebingunan, meski sebagian lainnya mulai cerdas dan selektif dalam memilah-milah sumber beritanya.
Yang patut diwaspadai adalah akumulasi kebencian antaranak bangsa yang berakhir dengan pertikaian fisik. Kekhawatiran itu sangat mungkin terjadi, ketika kebencian terhadap yang lain mendarah daging dan berkerak di dalam hati. Di banyak negara, tak sedikit perang pecah atas prakarsa kebencian antarsesama rakyatnya yang dikomandoi para elitnya. Kedamaian menjadi sangat mahal bagi mereka, karena kebencian telah menjelma menjadi dendam yang akan terus berlangsung hingga keturunan-keturunan mereka.
Maka, saat ini tugas utama Reformasi adalah menetralisir keadaan, mencegah hal paling buruk terjadi. Selanjutnya, mengembalikan optimisme seluruh rakyat Indonesia, bahwa demokrasi Pancasila yang terus dibangun akan memberikan kedamaian, kemajuan dan kesejahteraan. Cita-cita reformasi sejatinya terletak pada kepastian jalannya proses demokrasi yang menyajikan ketenteraman bagi mayoritas rakyat. Bukan kondisi serba baik-serba enak ala surgawi bagi semua rakyat. Karena setiap fase berbangsa akan selalu ada tantangan-hambatannya, tugas kita membawa bangsa ini terus bergerak ke depan melewati keduanya. Salam Reformasi! (*)
Penulis Adalah Ketua Yayasan Banonjati Cirebon