Home NgopiToday Catatan Obituari: Sunarto Marta Atmaja, Anak Band yang Berbelok Ke Tarling

Catatan Obituari: Sunarto Marta Atmaja, Anak Band yang Berbelok Ke Tarling

by

Oleh: Supali Kasim

MUNGKIN banyak yang tidak tahu bahwa Kang Ato atau Sunarto Marta Atmaja adalah anak band. Dulu, ia bukan seniman tarling. Ia adalah anak band di sekolahnya sekitar tahun 1963, tepatnya di STM Negeri Cirebon.

Kini ia telah tiada. Sabtu malam, 5 Januari 2018 sekitar pukul 21.15 ia menghembuskan napas terakhirnya. Publik pun mengenangnya sebagai salahsatu maestro seni tarling. Ia banyak menghasilkan karya seni tarling, baik berupa tembang tarling klasik, tembang tarling anyar, maupun drama tarling. Ribuan karya di panggung maupun ratusan karya pita kasetnya membuktikan kemaestroan Sunarto Marta Atmaja.

Tentang anak band, Sunarto pernah bercerita. “Sewaktu masih sekolah tahun 1960-an saya suka musik, suka seni suara. Bahkan saya pun bisa membaca notasi angka atau menulis lagu dengan notasi angka. Di STM Negeri Cirebon saya bergabung dengan band sekolah”.

Namun perjalanan sebagai anak band kemudian berbelok. Sunarto yang tinggal di desanya, Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon sering bertemu dan main ke rumah seniman tarling, Uci Sanusi. Secara iseng-iseng ia belajar petikan gitar tarling pada Kang Uci. Ia dengan cepat menguasainya. Bahkan ia pun mampu membuat lagu-lagu tarling.

Nada-nada tarling ternyata lebih menyentuh hatinya. Siang-malam ia selalu bergumul dengan gitar, tentu saja, dengan petikan tarling klasik. Bersama teman-teman di desanya, ia seringkali urunan membeli gitar, yang berasal dari upah membabat jerami di sawah. Biasanya upah itu untuk membeli bola voli, tetapi mereka beralih membeli gitar, karena adanya faktor kegandrungan pada tarling. Grup tarling pun didirikan dengan nama Karya Muda.

Totalitas sebagai seniman tarling pun dimulai pada era 1960-an itu. Bahkan gonta-ganti personel grup  maupun nama grup tarling pun terjadi. Grup tarling pernah bernama Seni Proletar, kemudian Asmara Jaya (bersama pemain gitar, Barnawi). Kemudian Nada Jaya (bersama pemain gitar, Bustam). Akhirnya bernama Nada Budaya pada tanggal 15 Agustus 1965 hingga akhir hayatnya.

Masa keemasan Nada Budaya tampak sejak 1967 hingga 1980-an. Setiap tahun memiliki rata-rata 200 panggungan. Bahkan menurut Sunarto, pada tahun 1972 pernah mencapai 234 panggungan, terutama di Cirebon dan Indramayu. Selebihnya di Brebes, Majalengka, Subang, dan daerah lain.

“Dulu, awalnya tarling itu hanya tembang-tembang saja. Kalaupun ada drama, drama itu ditembangkan. Saya berpikir, setelah menonton reog yang ada dramanya, kenapa tarling tak dibuat drama. Saya akhirnya menciptakan drama,” ujar Sunarto.

Bersama Nada Budaya, tembang dan dramanya makin terkenal. Pada tahun 1967 ia berduet bersama pesinden Dadang Darniyah, yang berasal dari Sukra Kab. Indramayu. Lalu bergabung pula pesinden Yayah Kamsiyah dari Desa Lombang, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Tahun 1972 ia berpisah dengan Dadang, sehingga berduet dengan Yayah. Ketika Dadang kembali, posisi pesinden utama kembali diperankan Dadang.

Sebelum direkrut untuk rekaman kaset pada tahun 1972, Sunarto dan grupnya pernah pula disiarkan RRI Cirebon secara langsung pada tahun 1966. Selain itu, ia juga pernah berpentas bukan pada masyarakat yang hajatan, di antaranya tampil di Jakarta, yakni di Hotel Kartika Chandra, Kartika Plaza, Bintang Cikini, Cempaka, dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pernah pula diajak seniman Embie C Noer dalam pergelaran bertitel Niat Ingsun di Gedung Kesenian Jakarta.

***

Pengembaraan Sunarto bukan hanya itu. Ia adalah sosok yang gaul. Sewaktu masih muda ia sering menyambangi seniman lainnya, terutama yang lebih senior. Salahsatunya adalah seniman tarling, Sugra di Kepandean Indramayu. “Saat itu saya sedang main di rumah teman Desa Sukaurip, Kecamatan Balongan kini. Saya teringat di Kepandean ada seniman tarling Mang Sugra,” ucapnya mengenang tahun 1960-an.

Malam itu ia bertandang ke rumah Sugra dengan naik becak yang berjarak sekitar 10 km dari Sukaurip. “Saya banyak mendapatkan wejangan, terutama menyangkut tarling klasik. Juga, bagaimana asal-usul terciptanya seni tarling.  Saya amat menghargai Mang Sugra,” tuturnya.

Pada perjalanan berikutnya sekitar tahun 1970-an seakan-akan ada tiga maestro tarling, yakni Jayana (Karangampel, Indramayu), Abdul Ajib (Mayung, Cirebon), dan Sunarto (Jemaras, Cirebon). Uniknya, atas dasar nama besar masing-masing, ketiga seniman itu akhirnya sepakat untuk bergabung dalam satu grup tarling.

Jayana memiliki latar dengan grup tarling Jaya Lelana, Abdul Ajib dengan Putra Sangkala, dan Sunarto dengan Nada Budaya. Mereka menyatukan ketiga nama itu dalam satu grup baru bernama Putra Nada Jaya. Beberapa kali pentas bersama dilakukan pada orang hajatan. Tetapi persoalan mulai timbul ketika faktor nonteknis muncul. Akhirnya grup tiga maestro itu bubar dengan sendirinya. Mereka kembali pada eksistensi grup masing-masing.

Pada usia senja, Sunarto merasakan perubahan seni tarling yang drastis. Lagu-lagu tarling-klasik mulai sedikit yang bisa membawakan. Gantinya adalah lagu tarling bergenre dangdut. Tetapi Sunarto bukan tipe seniman yang selalu mengeluh. Bersama grupnya, ia juga menerima order klasik maupun genre dangdut.

Acapkali pula ia membantu Dinas Pendidikan maupun Dinas Kebudayaan di kabupaten, kota, maupun provinsi dalam melakukan sosialisasi tarling, lomba lagu, maupun sastra.

Tahun 2017 ia menerima penghargaan “Anugerah DKI” (Dewan Kesenian Indramayu) bersama Dadang Darniyah sebagai seniman tarling legendaris. Tahun 2018 ia juga menerima penghargaan dari Sketsa Pribumi untuk kategori basa Cerbon.

Syair lagu-lagu tarling Sunarto terkenal puitis dan nyastra (mengandung sastra). Pada lagu Melati Segagang, Saumpama-saumpami, Berag Tua, Rebutan Prawan, Aja Dumeh, dan Salah Pilih menunjukkan bahwa diksi yang ia ciptakan tidak asal-asalan. Di situ terkandung unsur sastra daerah, seperti purwakanti, parikan, wangsalan, pribasa, maupun gugon tuwon.

Juga pada drama tarling ia ciptakan, semisal Gandrung Kapilayu unsur sastra itu ikut dimainkan. Duetnya bersama Dadang Darniyah makin terlihat klop setelah drama tersebut. Pada drama tersebut mengisahkan sepasang anak muda yang dimabuk asmara. Sunarto anak orang tidak punya, tetapi Dadang Darniyah anak orang kaya. Kisah yang terlihat klise itu ternyata menyegarkan, sebab bumbu-bumbu dalam dialog, puisi-monolog, dan tembang-tembangnya sangat romantis dan tragis.

Drama itu menjadi hits, bahkan dari drama itulah yang kemudian ada sebutan “Kang Ato” untuk Sunarto Marta Atmaja. Juga, Kang Ato selalu dikaitkan dengan kalimat “Kang Ato Ayamé Ilang” (Kang Ato ayamnya hilang). Memang, pada drama itu ada bagian ketika ayah Dadang menanyakan kepada Sunarto, ada apa main ke rumah Dadang, sebab ayah Dadang tak suka. Tanpa pikir panjang Dadang menceploskan alasan, bahwa Kang Ato sedang mencari ayamnya yang hilang. “Kang Ato ayamé ilang” akhirnya menjadi kalimat yang selalu menyertai Sunarto di mana-mana.

Kandungan sastra pada kiprah tarling Kang Ato ternyata bukanlah sekenanya. Sejak remaja ia suka membaca majalah basa Jawa, Panyebar Semangat dari Surabaya. “Saya suka majalah tersebut. Dari situ juga saya banyak belajar bahasa dan sastra,” ucap Kang Ato.

Agaknya, latar itu pula yang membuat Kang Ato bukan hanya menjadi seniman tarling. Acapkali pula ia menulis geguritan, puisi berbahasa daerah. Puisi-puisinya masuk dalam antologi bersama, seperti Gandrung Kapilayu dan Suluk-suluk Pesisir bersama Ahmad Syubbanudin Alwy, Made Casta, Nurdin M Noer, Dino Syahrudin, Salana, Chaerul Salam, Supali Kasim, Nurochman Sudibyo, Saptaguna, dan lainnya.

Itulah sebabnya, pada salahsatu episode drama tarling Gandrung Kapilayu, unsur sastra demikian terlihat. Saat Dadang membaca surat dari Kang Ato, terdengar surat itu bisa berbicara, yang merupakan monolog Kang Ato:

“Dadang  ning umah. Dang, satekané kertas putih sing ora berarti, pada karo jiwané Kang Ato kepéngén nemoni Dadang. Nanging jurang menghalangi kita. Dang, wayah bengi, sunaring wulan katutup mendung, seliring angin niup godong klapa kumalawéan, kaya ngundang atiné Kang Ato. Sepira remuk-ajuré atiné Kang Ato, kayadéné ngejar layangan ditugel benangé, kaliyang kabur kanginan.”

(“Dadang di rumah. Dang, setibanya kertas putih yang tidak berarti, sama dengan jiwa Kang Ato ingin menemui Dadang. Tetapi jurang menghalangi kita. Dang, saat malam, sinar bulan tertutup mendung, desiran angin meniup daun kelapa melambai-lambai, seperti mengundang hati Kang Ato. Betapa remuk-hancurnya hati Kang Ato, seperti mengejar layang-layang diputus benangnya, daun menguning kabur terbawa angin”).

Di alam sana, Kang Ato tidak lagi berucap, “Sunaring wulan katutup mendung, seliring angin niup godong klapa kumalawéan, kayadéné ngejar layangan ditugel benangé, kaliyang kabur kanginan.”

Selamat jalan, Kang Ato. Semoga engkau ditempatkan di sisi yang paling indah. Aamiin. (*)

Related Articles