Home NgopiToday Radio, Masih Seksi?

Radio, Masih Seksi?

by Redaktur Cirebon Plus
0 comment

Oleh: Baty Subakti

Faktanya terjadi paradoks. Penetrasi dan jangkauan radio meningkat, tapi iklannya menurun. Begitu salah satu kesimpulan yang saya peroleh dari mengikuti webinar yang diselanggarakan oleh DPI (Dewan Periklanan Indonesia) pada 31 Maret 2021 yang lalu.

Penetrasi radio pada awal tahun 2020 lalu tercatat 40% dan meningkat menjadi 50% pada akhir tahun lalu. Juga jumlah khalayaknya. Jika kita bandingkan jumlah khalayak pada Januari 2020 dengan bulan yang sama tahun 2019 misalnya, terjadi kenaikan cukup berdasa (signifkan), yaitu 24%. Hal yang nyaris sama terjadi jika kita bandingkan jumlah khalayak pada Januari 2021 dengan Januari 2020, yang mengalami kenaikan sebesar 23%.

Sebaliknya, anggaran periklanan yang mengalir ke media radio cenderung menurun, dan kian tajam. Pada kuartal pertama 2020 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020, baru turun 9%. Namun jika kita bandingkan angka kuartal-1 tahun 2021 ini dengan kuartal-1 tahun lalu, telah terjadi penurunan hingga 35%. Amat tajam.

Penetrasi bertambah, khalayak bertambah, tapi iklan menurun. Pertanyaannya kemudian tentu, mengapa demikian? Dugaan saya, faktor-faktor berikut mungkin menjadi penyebabnya:
Pertama, meskipun penetrasi dan jangkauan (Reach) media radio meningkat, namun pada periode-periode terkait, kebiasaan media para khalayak hanya menempatkan radio di peringkat keempat setelah TV, media sosial, dan daring. Dengn demikian prioritas alokasi anggaran kampanye oleh para pengiklan (termasuk biro iklan) juga mengikuti peringkat itu.

Kedua, peningkatan penetrasi dan Reach media radio masih jauh berada di bawah yang terjadi pada media internet dan ‘smartphone’. Sebagai contoh, pada kuartal-4 tahun 2020 dibandingkan dengan kuartal-4 tahun 2019, terjadi peningkatan khalayak yang melakukan ‘streaming’ hingga sebesar 360%. Pada periode yang sama khalayak yang melakukan ‘downloading’ bahkan meningkat hingga 430%. Meskipun angka-angka ‘streaming’ dan ‘downloading’ itu tentu juga termasuk yang terhadap media radio.
Ketiga, pandemi telah menyebabkan khalayak lebih banyak menggunakan waktu mereka di rumah. Ini berarti pemanfaatan jenis media mereka kian menyebar. Migrasi khalayak ke media-media sosial dan daring bukan hanya terjadi dari media TV, tapi juga dari media radio. Selain itu, dengan ‘di rumah saja’, pendengar radio dari mobil tentu menciut tajam, meskipun jumlah khalayak ini kurang dari 10%.
Keempat, generasi muda yang secara tradisional menjadi khalayak inti media radio, ikut bermigrasi ke media-media daring.

Kelima, peningkatan belanja iklan tahun lalu hanya didominasi oleh iklan-iklan jasa daring, Pemerintah dan politik (termasuk Pilkada), dan perawatan rambut. Tapi penurunan belanja terjadi pada produk-produk yang akrab di media radio, seperti kudapan/biskuit, kopi/teh, pasta+sikat gigi, dan sabun cair.

Kelima, peningkatan belanja iklan tahun lalu hanya didominasi oleh iklan-iklan jasa daring, Pemerintah dan politik (termasuk Pilkada), dan perawatan rambut. Tapi penurunan belanja terjadi pada produk-produk yang akrab di media radio, seperti kudapan/biskuit, kopi/teh, pasta+sikat gigi, dan sabun cair.

Semua fakta di atas, diduga telah menggiring para pengiklan dalam menata kebutuhan kampanye-kampanye media mereka. Apalagi kian banyak pengiklan yang menerapkan ‘programatic’ dan ‘dynamic buying’, sehingga perubahan sekecil apa pun di lapangan, akan mudah dan lekas terpantau. Dan tentu ini bukan hanya soal Reach dan Frequency media, namun juga dalam kaitan efektivitas dan efisiensi kampanye secara keseluruhan. (*)

Related Articles